Panji dan Pariwisata Bg. 1

Kontribusi pada Sarasehan di Kebon Kopi, Blitar oleh Lydia Kieven, Köln, Jerman 24-10-2015

Latar Belakang

"Budaya Panji" sudah berkembang di Jawa Timur dan di Jawa Tengah sejak sekitar 10 tahun. Istilah "Budaya Panji" diciptakan oleh Suryo Wardhoyo Prawiroatjmojo almrhm pada tahun 2004. Istilah ini punya berbagai arti dan aspek-aspek seperti yang berikutnya: sastra cerita Panji, seni Jawa kuno (pahatan cerita Panji di relief-relief candi, dan pahatan arca Panji), seni pertunjukan Panji, ritual Panji, Panji dalam bidang kesuburan di pertanian. Dan masih ada aspek lain.
Namun, banyak aspek ini sudah dilupakan oleh masyarakat dan malah ada yang hampir punah. Sebelum tahun 2004 seni pertunjukan seperti Wayang Topeng Malangan (yang punya lakon cerita Panji) hanya dipraktekkan oleh beberapa pakar, misalnya Mbah Karimoen, Mbah Rasimun, Mbah Gimun. Mereka sudah wafat, tetapi untunglah masih ada yang melanjutkan tradisi tari topeng, misalnya Ki Soleh, Mas Suroso dan Mas Handoyo di Pakisaji. Tahun-tahun belakangan ini diciptakan dan dipentaskan kreasi baru, misalnya oleh Heri Lentho. Apalagi ada pentas yang dilakukan di situs candi, misalnya di Candi Brahu Trowulan. Berarti, wayang topeng sudah sangat berkembang lagi. Namun begitu, banyak orang Malang tidak tahu tentang wayang topeng.

Beberapa contoh kegiatan revitalisasi dan aplikasi selama tahun-tahun belakangan ini:
Belakangan ini ada orang yang mengusahakan menghidupkannya Wayang Beber Pacitan lagi, misalnya Heri Lentho dari Surabaya dan Mas Ganjar dari Tumpang.
Ada seniman yang ambil wayang beber sebagai dasar untuk kreasi baru, misalnya Dani di Solo.
Pak Suryo dulu melakukan beberapa workshop untuk mahasiswa, anak sekolah, guru sejarah dengan tema Panji, misalnya workshop wayang beber untuk anak-anak.
Henri Nurcahyo mengorganisir beberapa acara diskusi, seminar dan pentas tentang Panji, dan workshop untuk anak-anak penggambaran di Candi Panataran.
Dengan kerjasama DeKeKaBe saya (Lydia) pernah mengarang leaflet untuk Candi Panataran dengan keterangan dan dengan "tugas" untuk anak-anak.
Di Blitar, Dewan Kesenian Kabupaten Blitar, sudah aktif menyelenggarakan Festival Panji sebagai lomba anak-anak untuk menciptakan pentas yang berdasar relief cerita Panji di Candi Panataran.
Universitas Ciputra Surabaya mendirikan "Panji studies" dalam jurusan kuliah Pariwisata yang memuat acara praktis keliling ke candi-candi, kerjasama Pak Dwi Cahyono (arkeolog) Universitas Negeri Malang.
Semakin banyak pentas Wayang Topeng dilakukan di Jawa Tengah, misalnya tahun 2014 ada Festival Topeng di Solo, dan tahun ini di Ullen Sentalu Yogya.
Agus Bimo Klaten mendirikan Wayang Panji Jantur di desa di lereng gunung Merapi.
Saya sendiri melakukan banyak seminar-seminar tentang Panji dan kegiatan seperti misalnya Tur Panji keliling ke beberapa candi di sekitar Blitar.

Kebanyakan kegiatan ini berdasar inisiatif sendiri dan dikerjakan sendiri-sendiri. Namun setelah ada pertemuan Pencinta Panji pada Oktober 2014, semakin banyak individu dan grup berkegiatan bersama-sama. Dengan demikian, ada saling memperkaya dan memberi inspirasi untuk perkembangan lanjut.
Tujuan semua kegiatan ini: mempromosikan, melestarikan, menerapkan Budaya Panji demi guna untuk masyarakat.

Budaya Panji dan peran pariwisata

"Budaya Panji" adalah warisan budaya takbenda (intangible heritage) yang khas budaya Jawa. Berkat inisiatif orang dan kelompok individu sudah mulai hidup lagi. Sementara ini di berbagai daerah dan kota, Budaya Panji sudah dipakai sebagai media pariwisata.
Apa peran pariwisata? Apa gunanya? Apa bahayanya?
Dalam bidang ahli antropologi, sejarah, sosiologi, arkeologi, museologi belakangan ini ada banyak diskusi tentang keterkaitan warisan budaya dan pariwisata (lihat misalnya artikel-artikel dalam Hitchcock 2009, 2010).1 Pariwisata bisa dipakai sebagai alat untuk melestarikan dan untuk memperkuat kebanggaan dan identitas budaya. Contoh di Indonesia yang sering dikutip adalah Bali dan Borobudur. Dua-duanya merepresentasikan budaya yang unik dan kaya dan berharga. Sejak 1930an, pariwisata di Bali berkembang terus, dan sejak zaman Suharto dengan sengaja diperkembang demi ekonomi. Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 sebagai tempat sakral agama Buddha dan sebagai simbol perwujudan ajaran Buddha, sama sejak zaman Suharto dengan sengaja diperkembang demi ekonomi, yaitu direnovasikan dan kemudian dipamerkan. Banyak pemerhati warisan budaya mengutarakan bahwa Borobudur sudah mati sebagai tempat suci dan hanya berfungsi dan dianggap sebagai obyek pariwisata. Lihatlah rombongan-rombongan yang "piknik" ke Borobudur, membuat selfi, naik dinding dan stupa - apa ada seseorang yang tahu tentang makna situs ini? Di Bali ada kontroversi: Ada pro - hasil dukungan oleh pariwisata adalah budaya Bali hidup terus dan orang Bali bangga atas tradisi yang kaya. Ada kontra - turis-turis merusak budaya Bali, misalnya memotret acara ngaben sambil mendekati menara ngaben tanpa peduli orang Bali yang ikut acara, dibangun villa-villa di sawah-sawah dan merusak pertanian, dibangun hotel-hotel mewah di Bukit (Nusa Dua) yang kering dan memerlukan air yang makin berkurang untuk irigasi sawah dan untuk penduduk di Bali.

Korelasi antara budaya dan pariwisata:
- Apa budaya digunakan oleh pariwisata sebagai alat untuk ekonomi?
- Apa budaya menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat identitas budaya
Diterapkan pada budaya Panji:
- Apa pariwisata mau menggunakan Panji sebagai alat untuk memperkuat ekonomi?
- Apa orang-orang peduli Panji mau menggunakan pariwisata untuk menyampaikan potensi Panji?
Sementara ini, dua pertanyaan ini masih tercampur, dan sering tidak jelas tujuannya apa. Ada acara yang lebih berfokus pada aspek ekonomi, ada yang lebih berfokus pada aspek perkuatan identitas budaya. Ada juga kecenderungan, bahwa Budaya Panji sudah dianggap nyetrend (trend).
Sekarang masih saatnya untuk menggiring tujuan Budaya Panji. Masih saatnya untuk mendiskusikannya. Masih saatnya untuk membicarakan nilai dan potensi dan penerapan/aplikasi/pengejewantahan Budaya Panji demi guna untuk masyarakat. Tahun lalu, 12-13 September 2014, dalam pertemuan Pencinta Panji di Trawas kita sudah mulai berdiskusi. Biar Budaya Panji tidak menjadi "mati" seperti Candi Borobudur dan tidak hanya menjadi obyek tontonan.
Seperti dibicarakan dalam pertemuan Pencinta Panji 2014 dan diulangi lagi pada pertemuan kedua di Tumpang 16 Agustus 2015, ada berbagai aspek perwujudan Budaya Panji dan nilai-nilainya:

Aspek-aspek perwujudan:
1) Sastra
2) Seni Jawa Kuno
3) Seni petunjukan
4) Pertanian /kesuburan
5) Spiritualitas
6) Penelitian: Panji di Jawa dan Asia Tenggara
7) Pendidikan
8) Pariwisata
Nilai-nilai:
1. Kerakyatan
2. Kesederhanaan
3. Pengatahuan
4. Keadilan
5. Kesabaran
6. Kebenaran
7. Kesuburan
8. Berjuang untuk cita-cita
9. Cinta dan Kesetiaan
10. Kedamaian
11. Spiritualitas

hasilnya: harmoni


Potensi revitalisasi budaya secara umum:
a. pengetahuan mengenai budaya sendiri
b. kesadaran mengenai budaya sendiri
c. kebanggaan mengenai budaya sendiri
d. menghargai budaya sendiri
e. melestarikan budaya sendiri
f. identitas budaya
g. percaya diri

Ada tiga tingkat dalam penampilan Budaya Panji:
(A) Memperkenalkan warisan dan tradisi lama sebagai kearifan lokal (berbeda dari Ramayana/Mahabharata dari India)
(B) Memperkenalkan nilai-nilai yang ada guna untuk masa kini dan yang bisa diterapkan.
(C) Metode dalam memperkenalkan budaya Panji dan metode menerapkan nilai-nilai, berarti dengan sifat dan spirit Panji.

Pariwisata sering hanya berperan pada tingkat A dan menjadi "industri pariwisata", dan tidak peduli tentang B dan C. Pada tingkat A tujuan utama adalah: mempromosikan dan mempopulerkan budaya sambil menarik sebanyak orang dan akhirnya mencari untung ekonomi; ada juga tujuan mengutamakan kepentingan sendiri: "Kita yang punya budaya benar; yang lain memakai budaya yang tidak benar." Tingkat B dan C sering dilupakan dalam pariwisata. Contoh Borobudur: Nilai-nilai dalam bijakan ajaran Buddha tidak disampaikan dan malah hilang. Metode untuk disampaikannya belum dipikirkan. Kekecualian: Tahun 2012 pernah diadakan workshop oleh Suprapto Suryodarmo di Borobudur dengan menggali tiga tingkat itu.

Untuk Budaya Panji perlu dicari metode dan medium yang bisa mengejewantahkan nilai-nilai dan potensi-potensinya. Contoh-contoh yang disebut di atas sudah menyediakan macam-macam metode. Perlu diperkembangkan dengan kreativitas, dengan semangat, dengan kerjasama, dengan saling memberi inspirasi. Budaya Panji tidak hanya perlu dikonservasikan, tetapi diterapkan, diwujudkan dalam bentuk baru, dengan tujuan masing-masing. Pariwisata adalah salah satu medium untuk pengejewantahannya; medium lain adalah edukasi, seni kreatif, seminar, ritual dll. Biar tidak ada persaingan dengan mengutamakan "kita yang punya budaya Panji benar", perlu kreativitas dalam kerjasama. Ada banyak versi cerita Panji, tidak ada salah satu yang "benar"; kegiatan Budaya Panji sama ada banyak versi yang saling memperkaya. Contoh: mengutaman varian-varian Budaya Panji lewat festival Panji dengan Wayang Topeng, Wayang Beber, workshop, kreasi baru, dll.; tur Panji keliling di seluruh Jawa Timur (dengan Dwi Cahyono arkeolog atau cantriknya).

Jangan-jangan kegiatan dan acara Budaya Panji menjadi alat yang dijual saja (lihat A): pentas topeng yang massal dan meriah, menarik ratusan penonton, loudspeakernya keras [ :) ], heboh, waaah orang senang ikut ramai-ramai, kayak pasar malam, tontonan untuk penghiburan dengan tujuan menarik ratusan orang. Bahayanya dalam bidang pariwisata: persaingan, kepentingan diri sendiri - yaitu melawan esensi Panji!

Namun, dalam acara heboh, tingkat B tentu bisa diterapkan juga, misalnya dengan menyampaikan pengetahuan tentang nilai-nilai Panji. Perlu dicari metode.
Untuk main pada tingkat C perlu lebih banyak kreatifitas lagi! Di sini justru adalah inti sari Panji: Menelusuri Panji yang sudah menjadi pemandu untuk mencapai yang tersembunyi - seperti di candi-candi dan di belakang topeng.

Yang penting juga dan sering dilupakan dalam industri pariwisata: Pariwisata Budaya Panji perlu melibatkan masyarakat setempat!

Kesimpulan:

Pariwisata adalah banyak guna kalau dipakai sebagai medium dan alat untuk menyampaikan nilai-nilai dan potensi-potensi Panji dan tidak hanya dipakai untuk kepentingan pariwisata diri sendiri. Pariwisata bisa memperkuat dan melestarikan budaya, jangan-jangan pariwisata merusak inti budaya.
Para ahli akademisi, para seniman, pemusik, pengarang, jurnalis, budayawan, ekonom, agen pariwisata, tourguide, juru kunci, tetangga candi, ahli museum, ...... ayo bersama-sama!
Makalah yang pendek ini hanya menyentuh beberapa poin dalam diskusi tentang peran Pariwisata untuk Budaya Panji. Silahkan digunakan sebagai input untuk didiskusikan dan diterima sebagai inspirasi dari seseorang Pencinta Panji di Jerman. Mohon dikirimkan reaksi lewat email / facebook. lydia.kieven@gmail.com

- Tahu bahwa ada Panji
- Tahu siapa Panji
- Tahu apa artinya Panji
- Tahu apa nilainya


1 Hitchcock et al 2009, Tourism in Southeast Aisa: Challenges and new directions. Copenhagen: Nias;
Hitchcock et al 2010, Heritage Tourism in Southeast Asia. Copenhagen: Nias.

Ditambahkan oleh Joshua Ramon Enslin, dalam kategori

URL Cite

Tunjukkan sidebar