Panji dan Pariwisata Bg. 3

Sumbangan oleh Agus Wiyono, tentang tema “Panji dan Pariwisata”, 4-11-2015

Saya sudah baca tulisannya tentang Panji dan Pariwisata. Lydia memberikan kritik dan antitesis yang sangat kostruktif. Harus diakui bahwa perkembangan pariwisata budaya di Indonesia sangat miskin perencanaan. Semua dikembangkan secara sporadis, yang hanya demi PAD / pendapatan asli daerah yang implementasinya dalam pengelolaan selalu hanya mengelola tiketing. Code of conduct, code of ethic, visitor managemen plan, job description, maupun SOP (mohon diterangkan akronimnya) tidak dikonstruksi. Akhirnya banyak tumbuh mass tourism di wisata budaya terutama di tempat benda-benda cagar budaya. Belum ada upaya edukasi yang optimal, karena semua masih fokus pada ekonomi. Sebagaian besar peran pemandu masih sebagai penunjuk jalan pencerita sejarah, belum sebagai interpreter.

Sisi baiknya karena pariwisata maka benda-benda cagar budaya menjadi terawat, terlindungi dari pencurian, karena yang mengamati publik. Seandainya tidak jadi tempat wisata maka kemungkinan sudah dijarah, sudah dirusak karena dianggap simbol setan, syirik atau sebutan lain.

Saya masih optimis kalau pariwsata bisa dikembangkan berbasis pada budaya Panji. orientasi orang berwisata / trend wisatawan sekarang juga sudah mulai berubah. Turis manca negara maupun nusantara sudah banyak yang menginginkan mereka bisa berbuat positif pada tempat yang dikunjunginya. Mereka pingin bisa lebih berinteraksi dengan masyarakat lokal. Contoh sekarang banyak destinasi yang mengembangkan daya tarik pertanian organik. Wisatawan terlibat mulai dari olah tanah, budidaya, panen, kuliner termasuk simulasi ritualnya. Bukankah pertanian organik merupakan warisan budaya Panji? Jadi tidak harus terkait pada kebendaan, tetapi lebih pada nilai-nilainya. Bila akhirnya semakin banyak masyarakat yang kembali mencintai pertanian organik maka mereka kembali mencintai Ibu Pertiwi. Ketika sudah mencintai maka akan lebih mudah untuk diajak merawat Ibu Pertiwi.
Jadi untuk pengembangan pariwisata dan budaya panji, tergantung pintu masuknya saja. Pada prinsipnya orang menginginkan suasana senang, seperti saat wisata. Tetapi bagaimana suasana senang itu punya nilai lebih, yakni edukasi untuk memberi pengetahuan, meningkatkan kesadaran, membuangun komitmen sampai merangsang perilaku untuk beraksi turut pelestarian.
Jadi pekerjanya adalah sekarang bagaimana membantu mendesain / membuat konsep penerapan pariwisata bertanggung jawab di kawasan konservasi cagar budaya. Pemerintah sebagai fasilitator dan regulator harus mendapat masukan, agar jangan hanya orientasi ekonomi saja. Pelaku bisnis pariwisata juga harus diberi pemahaman tentang keberlanjutan usaha, agar turut membantu upaya pengamanan, pelestarian. Masyarakat sipil harus terus diberi pengetahuan agar ada kesadaran kolektif dan memiliki ownership lebih besar terhadap benda-benda bersejarah.

Pemandu Wisata: Mereka harus ditingkatkan kemampuan interpretasinya.
Pengelola obyek (juru kunci, dinas purbakala, pemda): Mereka harus diperi pemahaman pengembangan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, agar tidak hanya berorientasi pada uang melulu.
Masyarakat sipil / potensial pasar wisatawan harus diedukasi.

Salam Panji
Rahayu, rahayu, rahayu.
agus wiyono

Ditambahkan oleh Joshua Ramon Enslin, dalam kategori

URL Cite

Tunjukkan sidebar